Kamis, 25 September 2025

Rencana Tata Ruang Wilayah: Menciptakan Ruang yang Berkeadilan untuk Semua

Spatial justice pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk membentuk ‘ruang’ yang dapat dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali, tanpa adanya diskriminasi spasial yang menyebabkan pengaruh atau kekuasaan seseorang dapat menentukan dirinya mampu menikmati ‘ruang’ yang lebih baik daripada yang lain. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU No.6 Tahun 2023) yang mendorong terwujudnya ruang yang aman, nyaman dan berkelanjutan bagi semua.


Pendahuluan

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana sebuah wilayah ditata agar nyaman, aman, dan berkelanjutan bagi seluruh warganya? Jawabannya terletak pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW adalah dokumen fundamental yang disusun pemerintah sebagai peta jalan pembangunan, untuk menata ketertiban, memastikan pemanfaatan lahan sesuai fungsi, serta menjaga kelestarian lingkungan.

RTRW memetakan berbagai aspek krusial, mulai dari penggunaan lahan, pola permukiman, hingga kawasan konservasi dan infrastruktur. Seluruh elemen ini dirangkai dalam dua konsep utama, yakni pola ruang (distribusi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya) dan struktur ruang (susunan pusat permukiman dan jaringan penunjangnya). Keduanya dirancang untuk menciptakan ruang yang efektif dan efisien, sekaligus mencegah konflik kepentingan antarsektor.

RTRW bukan sekadar dokumen teknis, melainkan juga landasan hukum sekaligus kesepakatan bersama. Kunci keberhasilannya terletak pada proses penyusunan yang partisipatif dan inklusif, dimana suara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya mendapat ruang. Prinsip keadilan (spatial justice) inilah yang menjadikan RTRW sebagai instrumen penyelesaian konflik secara damai.

Pentingnya RTRW juga ditegaskan dalam UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Tanpa perencanaan, sebuah kota berisiko menjadi arena konflik. Perspektif ini diperdalam oleh filsuf Henri Lefebvre yang melihat wilayah perkotaan sebagai ruang pertarungan antara “the popolo grasso” (mereka yang berkuasa) dan “the minuto popolo” (mereka yang suaranya tak terdengar). Dalam pandangannya, mereka yang memiliki kuasa cenderung mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengatur bagaimana kota dibentuk dan dikelola. Oleh karena itu, RTRW hadir sebagai amanat undangundang untuk memastikan pembangunan berjalan terencana dan adil bagi semua.

Visi besar ini berlandaskan pada pemahaman mendasar sesuai Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa ruang adalah wadah kehidupan kita bersama. Mewujudkan "ruang" yang adil dan berkelanjutan membutuhkan perwujudan pola dan struktur ruang yang terencana, yang mampu menghubungkan setiap sudut wilayah secara efektif demi masa depan yang lebih baik.

Struktur Ruang yang Adil dan Berkelanjutan

Sebuah kawasan yang hidup dan berfungsi baik ditopang oleh sistem mobilitas yang dirancang secara holistik, dimana setiap elemen saling mendukung untuk menciptakan pergerakan yang efisien dan manusiawi. Ini melampaui sekadar pembangunan jalan, tetapi merangkai sebuah ekosistem yang utuh bagi semua penggunanya. Rencana struktur ruang adalah representasi fisik dari visi pengembangan suatu kawasan, yang diwujudkan dalam keterkaitan antarpusat kegiatan. Untuk membentuk "ruang" yang adil dan berkelanjutan, dibutuhkan struktur ruang yang mampu mengatur konektivitas secara efektif dan efisien.

Beberapa unsur penting yang menjadi landasan kebijakan dalam penyusunan struktur ruang meliputi sistem penghubung, tata guna lahan, intensitas bangunan, ruang terbuka, tata bangunan, sarana prasarana lingkungan, serta pertimbangan gender dalam pemanfaatan ruang.

Pembahasan

1.     Sistem Penghubung untuk Menghubungkan Antarruang

Sistem penghubung mengatur sirkulasi dan aksesibilitas barang serta manusia dalam suatu kawasan, yang mencakup jaringan jalan, jalur pedestrian, jalur sepeda, hingga transportasi umum. Prinsip penting yang perlu diperhatikan:

Konsistensi dengan Rencana Makro: Desain harus selaras dengan rencana tata ruang yang lebih tinggi (skala kota/provinsi).

Konektivitas yang Efisien: Koneksi antarkawasan dihubungkan secara maksimal ke jalan utama, bukan membebani jalan lokal.

Manajemen Lalu Lintas Cerdas: Penempatan jalan arteri di sisi luar (periferi) kawasan yang berfungsi untuk memisahkan lalu lintas regional dan lokal.

Desain Jalan yang Inklusif: Perancangan jalan wajib menyeimbangkan kebutuhan kendaraan sekaligus memprioritaskan pejalan kaki.

Prinsip-prinsip ini diwujudkan pertama kali dalam penataan jaringan jalan, yang harus dilihat sebagai bagian integral dari sistem aksesibilitas, ruang bagi pejalan kaki, dan ruang terbuka hijau. Hierarki jalan yang jelas mulai dari arteri, kolektor, hingga jalan lokal akan membentuk struktur ruang dan memengaruhi intensitas pembangunan. Peran jalan juga harus dipertimbangkan secara cermat, apakah sebagai penghubung atau pembatas. Desainnya pun harus cerdas, menghindari lalu lintas pintas (through traffic) di jalan lingkungan dan selalu mempertimbangkan aspek visual seperti vista untuk memperkaya pengalaman.

Jaringan jalan yang efisien harus diimbangi dengan prioritas utama pada manusianya sehingga pedestrian menjadi hal yang sangat penting. Perencanaannya dimulai dengan mempertimbangkan jarak jangkauan yang nyaman (sekitar 300 meter) saat menempatkan fasilitas seperti halte atau toko. Jalur pedestrian harus menjadi sebuah jaringan yang aman, berkelanjutan, dan nyaman, dirancang dalam skala manusiawi serta terlindung dari lalu lintas kendaraan.

Prioritas bagi pejalan kaki ini juga harus tercermin dalam penataan fasilitas parkir. Parkir harus dirancang untuk memberikan kemudahan akses, bukan mendominasi ruang. Penempatannya tidak boleh mengganggu aktivitas di sekitarnya dan harus terintegrasi secara visual dengan jalan, pedestrian, dan vegetasi, sambil tetap memenuhi standar keamanan dan kenyamanan.

Sebagai tulang punggung yang mengikat semuanya, konsep transportasi publik menjadi penentu. Penataannya harus terpadu dengan rencana pengembangan kawasan secara keseluruhan dan terhubung erat dengan jalur pedestrian serta pusat-pusat aktivitas. Seperti halnya jalan, transportasi publik perlu memiliki hierarki layanan yang jelas, dengan penempatan halte yang strategis di simpul kegiatan agar mudah dijangkau namun tidak mengganggu kelancaran lalu lintas umum.

2.     Harmoni Tata Guna Lahan: Dari Segregasi ke Fungsi Terpadu

Tata Guna Lahan (peruntukan) adalah alokasi pemanfaatan tanah yang diatur dalam rencana tata ruang. Pada awalnya, konsep ini lahir ketika Revolusi Industri melanda Inggris dari kebutuhan untuk memisahkan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif, misalnya menjauhkan permukiman dari polusi industri. Namun, pemisahan fungsi yang terlalu ekstrem justru memunculkan masalah baru, seperti meningkatnya kebutuhan transportasi dan terbentuknya “kawasan mati” pada malam hari. Sebagai solusi, muncul konsep kawasan fungsi campuran (mixed-use) yang menggabungkan berbagai peruntukan. Prinsip ini bertujuan memaksimalkan pemanfaatan lahan, mengurangi beban transportasi, dan meningkatkan efisiensi utilitas.

Dalam skala yang lebih kecil, penerapannya diwujudkan melalui keragaman yang berimbang. Misalnya, sebuah kawasan hunian idealnya dilengkapi dengan fasilitas komersial skala lingkungan (toko, klinik) dan fasilitas sosial (sekolah, tempat ibadah) dalam porsi proporsional. Dengan menempatkan berbagai tipe hunian, tempat kerja, dan fasilitas dalam jarak yang berdekatan, akan terbentuk komunitas yang lebih beragam, inklusif, dan terintegrasi secara sosial. Tingkat kerincian peruntukan ini diatur secara berjenjang, mulai dari skala umum dalam RTRW hingga detail di RTBL yang bahkan bisa mengatur fungsi per lantai bangunan.

Lebih jauh, tata guna lahan tidak hanya ditentukan oleh kegiatan manusia, melainkan juga harus menghormati karakter geografis. Sesuai amanat UU Penataan Ruang, kawasan dibagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Bahkan di dalam kawasan budi daya pun terdapat zona yang harus dibatasi atau dilindungi, seperti resapan air atau daerah rawan banjir yang sebaiknya dialihfungsikan menjadi ruang terbuka hijau demi menjaga keseimbangan ekologis.



3.     Intensitas/Kepadatan Bangunan

Intensitas atau kepadatan bangunan diatur melalui ketentuan teknis seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan Koefisien Daerah Hijau (KDH). Selama ini ada anggapan bahwa kepadatan tinggi selalu identik dengan kualitas lingkungan yang buruk. Pandangan ini perlu diluruskan, karena pada dasarnya tingkat kepadatan ideal harus disesuaikan dengan daya dukung dan karakter kawasan. Misalnya, area konservasi air atau wilayah dengan infrastruktur terbatas, seperti pasokan air dan listrik yang secara alami harus memiliki kepadatan rendah demi menjaga keseimbangan ekologis.

Sebaliknya, kepadatan tinggi yang direncanakan dengan baik justru membawa banyak manfaat. Dari sisi sosial dan ekonomi, kepadatan mendorong interaksi antarwarga, memudahkan akses terhadap layanan, serta menekan harga tanah melalui pembangunan vertikal yang membuat infrastruktur lebih efisien. Dari sisi transportasi dan lingkungan, kepadatan yang terpusat dapat mengurangi kebutuhan perjalanan, meningkatkan penggunaan transportasi umum, menekan polusi, dan pada akhirnya mencegah urban sprawl yang berpotensi menggerus kawasan lindung maupun lahan konservasi.



4.     Ruang Terbuka: Jantung Sosial dan Paru-Paru Ekologis Kawasan

Ruang terbuka seperti jalan, taman, dan lapangan berfungsi sebagai panggung kehidupan komunal suatu kawasan. Karena bersifat bebas diakses oleh semua lapisan masyarakat, ruang ini menjadi wadah ideal bagi beragam aktivitas, mulai dari rekreasi sehari-hari hingga kegiatan besar seperti festival, perayaan, atau pasar temporer. Ruang publik yang nyaman akan mendorong interaksi sosial, memperkuat rasa kebersamaan, sekaligus memicu partisipasi warga dalam menjaga keamanan lingkungannya.

Sebuah ruang terbuka dinilai berhasil apabila dirancang dengan baik. Kriterianya mencakup aksesibilitas yang mudah, keamanan, daya tarik visual, serta fleksibilitas untuk berbagai kegiatan (multifungsi). Desainnya pun perlu diselaraskan dengan konteks alam sekitar dengan mempertimbangkan lanskap, topografi, iklim mikro, dan vegetasi setempat agar potensi kawasan dapat dimanfaatkan secara optimal.

Lebih dari sekadar fungsi sosial, ruang terbuka juga memiliki peran ekologis yang vital. Kesadaran akan pentingnya ekologi menjadi kunci, sebab pembangunan harus mampu menekan dampak negatif terhadap lingkungan. Di tengah tekanan pembangunan yang kian meningkat seiring pertumbuhan penduduk (dari sekitar 290 juta jiwa saat ini hingga diperkirakan 400 juta dalam dua dekade mendatang), keberadaan ruang terbuka menjadi wujud nyata komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Ia adalah investasi untuk menjaga kelangsungan hidup, kualitas lingkungan, dan kesejahteraan generasi mendatang.



5.     Tata Bangunan untuk Kualitas dan Karakter Kawasan

Pengaturan blok kawasan merupakan fondasi dari tata bangunan, karena kualitas suatu kawasan sangat ditentukan oleh kualitas setiap bangunan dan blok di dalamnya. Tanpa pengendalian, kawasan dapat mengalami kekacauan visual sekaligus gagal memenuhi standar kesehatan maupun keselamatan. Untuk itu, diterapkan seperangkat aturan teknis yang jelas, seperti Garis Sempadan Bangunan (GSB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan Ketinggian Bangunan. Selain itu, pembagian lahan menjadi blok dan kapling (sub-division) juga berperan penting dalam mengarahkan pengembangan, menjaga kualitas lingkungan, serta menjamin keamanan publik.

Lebih jauh, tata bangunan yang baik tidak hanya mengatur teknis dasar, tetapi juga memperhatikan kualitas visual kawasan agar ruang kota memiliki identitas yang jelas dan mudah dikenali. Hal ini dicapai melalui tiga elemen utama:

Landmark, sebagai penanda orientasi sekaligus pembentuk skyline.

Vista, yaitu pemandangan terarah sepanjang jalur tertentu.

Focal Point, yang menciptakan ritme visual dan menandai titik penting seperti gerbang, batas, atau pusat Kawasan.

Terakhir, tata bangunan juga mengatur penempatan Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial (Fasum/ Fasos) secara strategis. Bangunan publik ini bukan sekadar pelengkap, tetapi berfungsi sebagai simbol komunitas sekaligus penyedia layanan dasar. Prinsip utamanya, fasilitas harus berada dalam jangkauan pejalan kaki yang nyaman, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh semua kelompok usia.

6.     Sarana dan Prasarana Lingkungan: Penopang Kehidupan Sehari-hari

Sarana dan prasarana lingkungan mencakup infrastruktur vital yang menjadi tulang punggung kawasan, seperti jaringan air bersih, drainase, listrik, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat pula sarana pendukung berupa perabot jalan (street furniture) seperti lampu penerangan, boks sampah, hingga tempat duduk di ruang publik. Kehadiran semua elemen ini bertujuan menciptakan lingkungan yang layak huni dari segi keamanan, keselamatan, dan kesehatan, sehingga kualitas hidup serta kenyamanan warga dapat terus meningkat.

Dalam perencanaan dan pengelolaannya, terdapat beberapa prinsip kunci. Pertama, perencanaan harus bersifat terpadu, mempertimbangkan kapasitas jaringan skala kawasan yang lebih luas, serta selaras dengan tata jalan, ruang terbuka, dan bangunan di sekitarnya. Kedua, pemanfaatan ruang harus efisien: elemen di atas tanah (seperti lampu jalan) dapat sekaligus membentuk karakter kawasan, sementara ruang bawah tanah dapat dimanfaatkan untuk saluran utilitas. Ketiga, sistem yang dirancang sebaiknya memungkinkan pengelolaan mandiri oleh masyarakat dengan kemudahan perawatan sebagai syarat utama, demi menjamin keberlanjutan jangka panjang.

7.     Inklusivitas dan Kesetaraan Gender: Merancang Ruang untuk Semua

nklusivitas dalam pemanfaatan ruang merupakan upaya mendasar untuk memastikan setiap kelompok masyarakat mendapatkan porsi dan peluang yang setara dalam menikmati ruang kota (tanpa memandang gender, usia, kemampuan fisik, maupun kondisi kerentanan lainnya). Prinsip ini bukan hanya isu keadilan sosial, tetapi juga menjadi tantangan bersama bagi pemerintah kota, masyarakat sipil, dan para profesional untuk menciptakan ruang perkotaan yang benar-benar dapat diakses oleh semua.

Secara khusus, penerapan perspektif kesetaraan gender dalam perencanaan dan desain ruang menjadi inisiatif kunci untuk mendorong perubahan, sekaligus mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ke-5. Untuk mewujudkannya, terdapat sejumlah langkah strategis yang perlu dilakukan:

1. Libatkan Perempuan dan Anak Perempuan secara aktif dalam setiap tahap perencanaan dan desain ruang perkotaan.

2. Dengarkan Aspirasi Mereka untuk memahami apa yang dibutuhkan agar merasa aman dan nyaman di ruang publik.

3. Gunakan Data Terpilah yang mencakup tidak hanya gender, tetapi juga usia, etnis, disabilitas, dan kelas sosial untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran.

4. Integrasikan Ruang Ramah Perempuan, baik dalam desain ruang publik secara umum maupun dengan menyediakan ruang khusus jika diperlukan.

5. Adaptasi Metode Partisipasi agar lebih ramah dan mampu menjangkau suara dari seluruh lapisan masyarakat secara adil.

Pada akhirnya, tata ruang yang baik bukan sekadar soal mengatur kepadatan bangunan, menghadirkan ruang terbuka hijau, atau melengkapi kawasan dengan sarana dan prasarana, tetapi juga bagaimana seluruh elemen tersebut berpadu membentuk lingkungan yang sehat, aman, nyaman, dan inklusif. Perencanaan yang matang akan memastikan efisiensi pemanfaatan lahan dan infrastruktur, menjaga keseimbangan ekologi, sekaligus memberi ruang bagi interaksi sosial yang memperkuat kohesi masyarakat. Lebih dari itu, prinsip inklusivitas menegaskan bahwa ruang harus adil dan ramah bagi semua, sehingga tata ruang benar-benar menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan yang menghadirkan kualitas hidup lebih baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

 

 

Daftar Pustaka

1. Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.

2. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.

3. Sugiyono, PB,”Memahami Konsep Ruang Menurut Henri Lefebvre”, Jurnal Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2022.

4. URBACT, “Gender sensitive public space? Placemaking and spatial justice through the perspective of gender”, Diedit tanggal 20 Agustus 2024.

 

 

 

 

 

 

Sumber : Penulis Ir. Toni Rusmarsidik, MUM, dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II (Mei - Agustus 2025)

Tidak ada komentar: