Spatial justice pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk membentuk ‘ruang’ yang dapat dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali, tanpa adanya diskriminasi spasial yang menyebabkan pengaruh atau kekuasaan seseorang dapat menentukan dirinya mampu menikmati ‘ruang’ yang lebih baik daripada yang lain. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU No.6 Tahun 2023) yang mendorong terwujudnya ruang yang aman, nyaman dan berkelanjutan bagi semua.
Pendahuluan
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana
sebuah wilayah ditata agar nyaman, aman, dan berkelanjutan bagi seluruh
warganya? Jawabannya terletak pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW
adalah dokumen fundamental yang disusun pemerintah sebagai peta jalan
pembangunan, untuk menata ketertiban, memastikan pemanfaatan lahan sesuai
fungsi, serta menjaga kelestarian lingkungan.
RTRW memetakan berbagai aspek krusial,
mulai dari penggunaan lahan, pola permukiman, hingga kawasan konservasi dan
infrastruktur. Seluruh elemen ini dirangkai dalam dua konsep utama, yakni pola
ruang (distribusi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya) dan
struktur ruang (susunan pusat permukiman dan jaringan penunjangnya). Keduanya
dirancang untuk menciptakan ruang yang efektif dan efisien, sekaligus mencegah
konflik kepentingan antarsektor.
RTRW bukan sekadar dokumen teknis,
melainkan juga landasan hukum sekaligus kesepakatan bersama. Kunci
keberhasilannya terletak pada proses penyusunan yang partisipatif dan inklusif,
dimana suara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya mendapat
ruang. Prinsip keadilan (spatial justice) inilah yang menjadikan RTRW sebagai
instrumen penyelesaian konflik secara damai.
Pentingnya RTRW juga ditegaskan dalam UU
No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Tanpa perencanaan, sebuah kota berisiko
menjadi arena konflik. Perspektif ini diperdalam oleh filsuf Henri Lefebvre
yang melihat wilayah perkotaan sebagai ruang pertarungan antara “the popolo
grasso” (mereka yang berkuasa) dan “the minuto popolo” (mereka yang suaranya
tak terdengar). Dalam pandangannya, mereka yang memiliki kuasa cenderung
mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengatur bagaimana kota dibentuk dan
dikelola. Oleh karena itu, RTRW hadir sebagai amanat undangundang untuk
memastikan pembangunan berjalan terencana dan adil bagi semua.
Visi besar ini berlandaskan pada pemahaman
mendasar sesuai Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
bahwa ruang adalah wadah kehidupan kita bersama. Mewujudkan "ruang"
yang adil dan berkelanjutan membutuhkan perwujudan pola dan struktur ruang yang
terencana, yang mampu menghubungkan setiap sudut wilayah secara efektif demi
masa depan yang lebih baik.
Struktur Ruang yang Adil dan
Berkelanjutan
Sebuah kawasan yang hidup dan berfungsi
baik ditopang oleh sistem mobilitas yang dirancang secara holistik, dimana
setiap elemen saling mendukung untuk menciptakan pergerakan yang efisien dan
manusiawi. Ini melampaui sekadar pembangunan jalan, tetapi merangkai sebuah
ekosistem yang utuh bagi semua penggunanya. Rencana struktur ruang adalah
representasi fisik dari visi pengembangan suatu kawasan, yang diwujudkan dalam
keterkaitan antarpusat kegiatan. Untuk membentuk "ruang" yang adil
dan berkelanjutan, dibutuhkan struktur ruang yang mampu mengatur konektivitas
secara efektif dan efisien.
Beberapa unsur penting yang menjadi
landasan kebijakan dalam penyusunan struktur ruang meliputi sistem penghubung,
tata guna lahan, intensitas bangunan, ruang terbuka, tata bangunan, sarana
prasarana lingkungan, serta pertimbangan gender dalam pemanfaatan ruang.
Pembahasan
1.
Sistem Penghubung untuk
Menghubungkan Antarruang
Sistem penghubung mengatur sirkulasi dan aksesibilitas
barang serta manusia dalam suatu kawasan, yang mencakup jaringan jalan, jalur
pedestrian, jalur sepeda, hingga transportasi umum. Prinsip penting yang perlu
diperhatikan:
• Konsistensi dengan Rencana Makro: Desain harus
selaras dengan rencana tata ruang yang lebih tinggi (skala kota/provinsi).
• Konektivitas yang Efisien: Koneksi antarkawasan
dihubungkan secara maksimal ke jalan utama, bukan membebani jalan lokal.
• Manajemen Lalu Lintas Cerdas: Penempatan jalan
arteri di sisi luar (periferi) kawasan yang berfungsi untuk memisahkan lalu
lintas regional dan lokal.
• Desain Jalan yang Inklusif: Perancangan jalan
wajib menyeimbangkan kebutuhan kendaraan sekaligus memprioritaskan pejalan
kaki.
Prinsip-prinsip ini diwujudkan pertama kali dalam
penataan jaringan jalan, yang harus dilihat sebagai bagian integral dari sistem
aksesibilitas, ruang bagi pejalan kaki, dan ruang terbuka hijau. Hierarki jalan
yang jelas mulai dari arteri, kolektor, hingga jalan lokal akan membentuk
struktur ruang dan memengaruhi intensitas pembangunan. Peran jalan juga harus
dipertimbangkan secara cermat, apakah sebagai penghubung atau pembatas.
Desainnya pun harus cerdas, menghindari lalu lintas pintas (through traffic) di
jalan lingkungan dan selalu mempertimbangkan aspek visual seperti vista untuk
memperkaya pengalaman.
Jaringan jalan yang efisien harus diimbangi dengan
prioritas utama pada manusianya sehingga pedestrian menjadi hal yang sangat
penting. Perencanaannya dimulai dengan mempertimbangkan jarak jangkauan yang
nyaman (sekitar 300 meter) saat menempatkan fasilitas seperti halte atau toko.
Jalur pedestrian harus menjadi sebuah jaringan yang aman, berkelanjutan, dan
nyaman, dirancang dalam skala manusiawi serta terlindung dari lalu lintas
kendaraan.
Prioritas bagi pejalan kaki ini juga harus tercermin
dalam penataan fasilitas parkir. Parkir harus dirancang untuk memberikan
kemudahan akses, bukan mendominasi ruang. Penempatannya tidak boleh mengganggu
aktivitas di sekitarnya dan harus terintegrasi secara visual dengan jalan,
pedestrian, dan vegetasi, sambil tetap memenuhi standar keamanan dan
kenyamanan.
Sebagai tulang punggung yang mengikat semuanya, konsep
transportasi publik menjadi penentu. Penataannya harus terpadu dengan rencana
pengembangan kawasan secara keseluruhan dan terhubung erat dengan jalur
pedestrian serta pusat-pusat aktivitas. Seperti halnya jalan, transportasi
publik perlu memiliki hierarki layanan yang jelas, dengan penempatan halte yang
strategis di simpul kegiatan agar mudah dijangkau namun tidak mengganggu
kelancaran lalu lintas umum.
2.
Harmoni Tata Guna Lahan:
Dari Segregasi ke Fungsi Terpadu
Tata Guna Lahan (peruntukan) adalah alokasi pemanfaatan
tanah yang diatur dalam rencana tata ruang. Pada awalnya, konsep ini lahir
ketika Revolusi Industri melanda Inggris dari kebutuhan untuk memisahkan
kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif, misalnya menjauhkan
permukiman dari polusi industri. Namun, pemisahan fungsi yang terlalu ekstrem
justru memunculkan masalah baru, seperti meningkatnya kebutuhan transportasi
dan terbentuknya “kawasan mati” pada malam hari. Sebagai solusi, muncul konsep
kawasan fungsi campuran (mixed-use) yang menggabungkan berbagai peruntukan.
Prinsip ini bertujuan memaksimalkan pemanfaatan lahan, mengurangi beban
transportasi, dan meningkatkan efisiensi utilitas.
Dalam skala yang lebih kecil, penerapannya diwujudkan
melalui keragaman yang berimbang. Misalnya, sebuah kawasan hunian idealnya
dilengkapi dengan fasilitas komersial skala lingkungan (toko, klinik) dan
fasilitas sosial (sekolah, tempat ibadah) dalam porsi proporsional. Dengan
menempatkan berbagai tipe hunian, tempat kerja, dan fasilitas dalam jarak yang
berdekatan, akan terbentuk komunitas yang lebih beragam, inklusif, dan
terintegrasi secara sosial. Tingkat kerincian peruntukan ini diatur secara
berjenjang, mulai dari skala umum dalam RTRW hingga detail di RTBL yang bahkan
bisa mengatur fungsi per lantai bangunan.
Lebih jauh, tata guna lahan tidak hanya ditentukan oleh
kegiatan manusia, melainkan juga harus menghormati karakter geografis. Sesuai
amanat UU Penataan Ruang, kawasan dibagi menjadi kawasan lindung dan kawasan
budi daya. Bahkan di dalam kawasan budi daya pun terdapat zona yang harus
dibatasi atau dilindungi, seperti resapan air atau daerah rawan banjir yang
sebaiknya dialihfungsikan menjadi ruang terbuka hijau demi menjaga keseimbangan
ekologis.
3.
Intensitas/Kepadatan
Bangunan
Intensitas atau kepadatan bangunan diatur melalui
ketentuan teknis seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai
Bangunan (KLB), dan Koefisien Daerah Hijau (KDH). Selama ini ada anggapan bahwa
kepadatan tinggi selalu identik dengan kualitas lingkungan yang buruk.
Pandangan ini perlu diluruskan, karena pada dasarnya tingkat kepadatan ideal
harus disesuaikan dengan daya dukung dan karakter kawasan. Misalnya, area
konservasi air atau wilayah dengan infrastruktur terbatas, seperti pasokan air
dan listrik yang secara alami harus memiliki kepadatan rendah demi menjaga
keseimbangan ekologis.
Sebaliknya, kepadatan tinggi yang direncanakan dengan
baik justru membawa banyak manfaat. Dari sisi sosial dan ekonomi, kepadatan
mendorong interaksi antarwarga, memudahkan akses terhadap layanan, serta
menekan harga tanah melalui pembangunan vertikal yang membuat infrastruktur
lebih efisien. Dari sisi transportasi dan lingkungan, kepadatan yang terpusat
dapat mengurangi kebutuhan perjalanan, meningkatkan penggunaan transportasi
umum, menekan polusi, dan pada akhirnya mencegah urban sprawl yang berpotensi menggerus
kawasan lindung maupun lahan konservasi.
4.
Ruang Terbuka: Jantung
Sosial dan Paru-Paru Ekologis Kawasan
Ruang terbuka seperti jalan, taman, dan lapangan
berfungsi sebagai panggung kehidupan komunal suatu kawasan. Karena bersifat
bebas diakses oleh semua lapisan masyarakat, ruang ini menjadi wadah ideal bagi
beragam aktivitas, mulai dari rekreasi sehari-hari hingga kegiatan besar
seperti festival, perayaan, atau pasar temporer. Ruang publik yang nyaman akan
mendorong interaksi sosial, memperkuat rasa kebersamaan, sekaligus memicu
partisipasi warga dalam menjaga keamanan lingkungannya.
Sebuah ruang terbuka dinilai berhasil apabila dirancang
dengan baik. Kriterianya mencakup aksesibilitas yang mudah, keamanan, daya
tarik visual, serta fleksibilitas untuk berbagai kegiatan (multifungsi).
Desainnya pun perlu diselaraskan dengan konteks alam sekitar dengan
mempertimbangkan lanskap, topografi, iklim mikro, dan vegetasi setempat agar
potensi kawasan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Lebih dari sekadar fungsi sosial, ruang terbuka juga
memiliki peran ekologis yang vital. Kesadaran akan pentingnya ekologi menjadi
kunci, sebab pembangunan harus mampu menekan dampak negatif terhadap
lingkungan. Di tengah tekanan pembangunan yang kian meningkat seiring
pertumbuhan penduduk (dari sekitar 290 juta jiwa saat ini hingga diperkirakan
400 juta dalam dua dekade mendatang), keberadaan ruang terbuka menjadi wujud
nyata komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Ia adalah investasi untuk
menjaga kelangsungan hidup, kualitas lingkungan, dan kesejahteraan generasi
mendatang.
5.
Tata Bangunan untuk
Kualitas dan Karakter Kawasan
Pengaturan blok kawasan merupakan fondasi dari tata
bangunan, karena kualitas suatu kawasan sangat ditentukan oleh kualitas setiap
bangunan dan blok di dalamnya. Tanpa pengendalian, kawasan dapat mengalami
kekacauan visual sekaligus gagal memenuhi standar kesehatan maupun keselamatan.
Untuk itu, diterapkan seperangkat aturan teknis yang jelas, seperti Garis
Sempadan Bangunan (GSB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai
Bangunan (KLB), dan Ketinggian Bangunan. Selain itu, pembagian lahan menjadi blok
dan kapling (sub-division) juga berperan penting dalam mengarahkan
pengembangan, menjaga kualitas lingkungan, serta menjamin keamanan publik.
Lebih jauh, tata bangunan yang baik tidak hanya mengatur
teknis dasar, tetapi juga memperhatikan kualitas visual kawasan agar ruang kota
memiliki identitas yang jelas dan mudah dikenali. Hal ini dicapai melalui tiga
elemen utama:
• Landmark, sebagai penanda orientasi sekaligus
pembentuk skyline.
• Vista, yaitu pemandangan terarah sepanjang
jalur tertentu.
• Focal Point, yang menciptakan ritme visual dan
menandai titik penting seperti gerbang, batas, atau pusat Kawasan.
Terakhir, tata bangunan juga mengatur penempatan
Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial (Fasum/ Fasos) secara strategis. Bangunan
publik ini bukan sekadar pelengkap, tetapi berfungsi sebagai simbol komunitas
sekaligus penyedia layanan dasar. Prinsip utamanya, fasilitas harus berada
dalam jangkauan pejalan kaki yang nyaman, sehingga dapat diakses dengan mudah
oleh semua kelompok usia.
6.
Sarana dan Prasarana
Lingkungan: Penopang Kehidupan Sehari-hari
Sarana dan prasarana lingkungan mencakup infrastruktur
vital yang menjadi tulang punggung kawasan, seperti jaringan air bersih,
drainase, listrik, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat pula sarana
pendukung berupa perabot jalan (street furniture) seperti lampu penerangan,
boks sampah, hingga tempat duduk di ruang publik. Kehadiran semua elemen ini
bertujuan menciptakan lingkungan yang layak huni dari segi keamanan,
keselamatan, dan kesehatan, sehingga kualitas hidup serta kenyamanan warga
dapat terus meningkat.
Dalam perencanaan dan pengelolaannya, terdapat beberapa
prinsip kunci. Pertama, perencanaan harus bersifat terpadu, mempertimbangkan
kapasitas jaringan skala kawasan yang lebih luas, serta selaras dengan tata
jalan, ruang terbuka, dan bangunan di sekitarnya. Kedua, pemanfaatan ruang
harus efisien: elemen di atas tanah (seperti lampu jalan) dapat sekaligus
membentuk karakter kawasan, sementara ruang bawah tanah dapat dimanfaatkan
untuk saluran utilitas. Ketiga, sistem yang dirancang sebaiknya memungkinkan pengelolaan
mandiri oleh masyarakat dengan kemudahan perawatan sebagai syarat utama, demi
menjamin keberlanjutan jangka panjang.
7.
Inklusivitas dan Kesetaraan
Gender: Merancang Ruang untuk Semua
nklusivitas dalam pemanfaatan ruang merupakan upaya
mendasar untuk memastikan setiap kelompok masyarakat mendapatkan porsi dan
peluang yang setara dalam menikmati ruang kota (tanpa memandang gender, usia,
kemampuan fisik, maupun kondisi kerentanan lainnya). Prinsip ini bukan hanya
isu keadilan sosial, tetapi juga menjadi tantangan bersama bagi pemerintah
kota, masyarakat sipil, dan para profesional untuk menciptakan ruang perkotaan
yang benar-benar dapat diakses oleh semua.
Secara khusus, penerapan perspektif kesetaraan gender
dalam perencanaan dan desain ruang menjadi inisiatif kunci untuk mendorong
perubahan, sekaligus mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDG) ke-5. Untuk mewujudkannya, terdapat sejumlah langkah strategis yang perlu
dilakukan:
1. Libatkan Perempuan dan Anak Perempuan secara aktif
dalam setiap tahap perencanaan dan desain ruang perkotaan.
2. Dengarkan Aspirasi Mereka untuk memahami apa yang
dibutuhkan agar merasa aman dan nyaman di ruang publik.
3. Gunakan Data Terpilah yang mencakup tidak hanya
gender, tetapi juga usia, etnis, disabilitas, dan kelas sosial untuk membuat
kebijakan yang tepat sasaran.
4. Integrasikan Ruang Ramah Perempuan, baik dalam desain
ruang publik secara umum maupun dengan menyediakan ruang khusus jika
diperlukan.
5. Adaptasi Metode Partisipasi agar lebih ramah dan
mampu menjangkau suara dari seluruh lapisan masyarakat secara adil.
Pada akhirnya, tata ruang yang baik bukan sekadar soal mengatur
kepadatan bangunan, menghadirkan ruang terbuka hijau, atau melengkapi kawasan
dengan sarana dan prasarana, tetapi juga bagaimana seluruh elemen tersebut
berpadu membentuk lingkungan yang sehat, aman, nyaman, dan inklusif.
Perencanaan yang matang akan memastikan efisiensi pemanfaatan lahan dan
infrastruktur, menjaga keseimbangan ekologi, sekaligus memberi ruang bagi
interaksi sosial yang memperkuat kohesi masyarakat. Lebih dari itu, prinsip inklusivitas
menegaskan bahwa ruang harus adil dan ramah bagi semua, sehingga tata ruang
benar-benar menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan yang menghadirkan
kualitas hidup lebih baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
Daftar Pustaka
1. Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Jakarta: Presiden
Republik Indonesia.
2. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Presiden Republik
Indonesia.
3. Sugiyono, PB,”Memahami Konsep Ruang
Menurut Henri Lefebvre”, Jurnal Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2022.
4. URBACT, “Gender sensitive public space?
Placemaking and spatial justice through the perspective of gender”, Diedit
tanggal 20 Agustus 2024.
Sumber :
Penulis Ir. Toni Rusmarsidik, MUM, dalam BULETIN
PENATAAN RUANG Edisi II (Mei - Agustus 2025)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar