Konsep spatial justice atau keadilan spasial telah banyak dibahas oleh para pakar dan akademisi yang mencoba menggabungkan teori keadilan sosial dengan kajian ruang/spasial, sehingga berkembang menjadi teori-teori keadilan spasial. Artikel ini akan membahas konsep keadilan spasial sesuai dengan sistem penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia, dan apa peran dari pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya penertiban pemanfaatan ruang sebagai instrumen kunci dari perwujudan keadilan spasial di Indonesia, disertai contoh implementasinya.
1.
KONSEP SPATIAL JUSTICE
(KEADILAN SPASIAL)
Pemahaman mengenai keadilan ruang atau keadilan spasial
sangatlah beragam. Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan oleh
para ahli, seperti Rocco de Campos Pereira (2014), Soja (2013), dan Estabrik S.
Abdulhamza dkk (2025), keadilan spasial tidak hanya sekedar pembagian ruang
secara fisik, tetapi juga mencakup distribusi yang adil terhadap berbagai aspek
kehidupan masyarakat, seperti akses terhadap barang publik, layanan dasar,
peluang ekonomi, dan lingkungan yang sehat. Dari perspektif akses terhadap
barang publik, layanan dasar, dan kesempatan ekonomi, keadilan spasial
mengharuskan bahwa semua warga memiliki akses yang setara terhadap fasilitas
dan sumber daya yang ada. Ketimpangan dalam akses ini dapat menyebabkan
perbedaan signifikan dalam kualitas hidup antarkelompok sosial. Penataan ruang
yang tidak adil seringkali menciptakan ketimpangan akses terhadap pendidikan,
kesehatan, perumahan, dan pekerjaan, yang pada gilirannya memperburuk
kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Dari aspek keadilan spasial,
hal ini berkaitan dengan distribusi manfaat dan beban secara merata dalam
masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan. Oleh karena itu, penataan ruang
yang mengutamakan keadilan spasial tidak hanya harus mewujudkan pemerataan
manfaat pembangunan bagi seluruh lapisan masyarakat, tetapi juga memastikan
bahwa beban dari dampak pembangunan, seperti polusi udara, kemacetan lalu
lintas, maupun degradasi lingkungan, dibagi secara adil, sehingga tidak
menumpuk pada kelompok rentan, khususnya mereka yang tinggal di wilayah
marginal atau kawasan terabaikan.
Penataan ruang yang mengintegrasikan prinsip-prinsip
keadilan spasial akan menghasilkan kota dan wilayah yang lebih inklusif,
berkelanjutan, dan sejahtera. Hal ini tidak hanya mencakup pengaturan
distribusi fisik ruang, tetapi juga pemerataan akses terhadap berbagai
fasilitas dan kesempatan yang ada di dalam ruang tersebut. Penataan ruang yang
adil akan menciptakan ruang publik yang dapat diakses oleh semua kalangan,
memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang terpinggirkan, serta mengurangi
ketimpangan antarwilayah yang sering kali menciptakan ketegangan sosial dan
ekonomi. Namun, dalam implementasinya, pemanfaatan ruang tidak jarang
menyimpang dari rencana yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian tersebut lambat
laun menimbulkan simpangan dan ketidakadilan ruang. Oleh karena itu, diperlukan
pengendalian melalui penertiban pemanfaatan ruang untuk mengurangi pelanggaran
yang terjadi sekaligus mencegah terulangnya pelanggaran di masa mendatang.
2.
LANDASAN HUKUM
PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
Penertiban pemanfaatan ruang merupakan salah satu bagian
dari Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam siklus penyelenggaraan penataan ruang
di Indonesia. Penyelenggaraan penataan ruang terdiri atas perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, pengawasan penataan
ruang, pembinaan penataan ruang, dan kelembagaan penataan ruang. Regulasi
terkait penertiban pemanfaatan ruang di Indonesia diatur dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, yaitu (a) UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (UU 26/2007) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi
UndangUndang (UU 6/2023); (b) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP 21/2021); dan (c) Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Pengawasan Penataan Ruang. Pada
peraturan-peraturan tersebut, telah diatur secara jelas bahwa setiap orang yang
tidak menaati Rencana Tata Ruang (RTR) yang telah ditetapkan yang mengakibatkan
perubahan fungsi ruang, dan tidak mematuhi ketentuan pemanfaatan ruang dalam
RTR, akan dikenakan sanksi administratif. Pelanggaran ini termasuk pemanfaatan
ruang yang tidak memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan yang
tidak mematuhi ketentuan dalam KKPR. Pengenaan sanksi administratif juga
dikenakan kepada setiap orang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan sebagai milik umum, baik
menutup akses secara sementara maupun permanen.
Berdasarkan UU 26/2007 sebagaimana telah diubah dalam UU
6/2023 dan peraturan turunannya, sanksi administratif terhadap pelanggaran
pemanfaatan ruang dapat berupa: (1) peringatan tertulis, (2) denda
administrasi, (3) penghentian sementara kegiatan, (4) penghentian sementara
pelayanan umum, (5) penutupan lokasi, (6) pencabutan Kesesuaian Kegiatan
Pemanfaatan Ruang, (7) pembatalan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, (8)
pembongkaran bangunan, dan (9) pemulihan fungsi ruang. Sanksi administratif
dapat disertai dengan upaya paksa oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah. Saat ini, prinsip hukum yang digunakan dalam penegakan hukum
pelanggaran penataan ruang adalah Prinsip Ultimum Remedium, yaitu mengedepankan
sanksi administratif sebelum pengenaan sanksi pidana sebagai upaya terakhir.
3.
PERAN PENERTIBAN
PEMANFAATAN RUANG DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN SPASIAL DI INDONESIA
UUPR, UUCK, dan PP 21/2021 menempatkan penertiban pemanfaatan ruang, yaitu pengenaan sanksi administratif, untuk memastikan kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan sesuai RTR dan KKPR yang telah diterbitkan. Ini adalah kerangka formal bahwa penegakan hukum digunakan untuk menjaga keteraturan dan keadilan ruang. Konsep dan prinsip keadilan spasial ini harus tertuang dalam RTR yang memiliki konsep sustainability, keadilan sosial, pemerataan pembangunan, dan livability yang tercermin dari alokasi ruang yang seimbang dan tidak berpihak pada kelompok tertentu saja, tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat. Namun, konsep RTR yang baik dan berkeadilan, tanpa disertai dengan pengendalian dan penegakan hukum, tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang, menjadi kunci perwujudan RTR yang berkeadilan sosial dan spasial, serta mampu mewujudkan tujuan akhir penataan ruang yaitu ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Terdapat 4 (empat) peran penting kegiatan penertiban pemanfaatan ruang dalam mewujudkan konsep keadilan spasial yang telah diatur dalam RTR, yaitu:
a. Menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, hal ini untuk mencegah ketimpangan akibat perubahan fungsi ruang yang bertentangan dengan rencana, misalnya konversi lahan pertanian menjadi kawasan perdagangan dan jasa secara ilegal.
Pengendalian pemanfaatan
ruang dilakukan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana
tata ruang. Hal ini bertujuan untuk mencegah ketimpangan atau ketidakadilan
ruang akibat perubahan fungsi ruang. Konsep penetapan rencana tata ruang adalah
di antaranya untuk mencapai kondisi yang berkelanjutan baik dari aspek sosial
budaya, aspek ekonomi, serta aspek lingkungan hidup. Dalam penentuan itu juga
memperhatikan potensi dan kondisi fisik wilayah. Dengan adanya pelanggaran
pemanfaatan ruang yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang tentunya akan
berdampak terjadinya ketimpangan ruang yang tidak sesuai dengan potensi dan
kondisi fisik wilayah eksisting dan tentunya tujuan dari penetapan pola ruang
akan bergeser, serta yang lebih parah adalah berubah dari kondisi yang ingin
dituju.
Sebagai contoh ketimpangan atau ketidakadilan ruang akibat perubahan fungsi ruang adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi kegiatan nonpertanian menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Menurut Sutaryono (2016), ketercapaian sistem pertanian-pangan Indonesia yang tangguh membutuhkan keterpaduan pengembangan wilayah dan kecukupan ketersediaan lahan sawah melalui kebijakan penataan ruang yang holistik-berkelanjutan. Dengan adanya alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali, maka banyak dampak yang ditimbulkan antara lain perubahan mata pencaharian utama dan pola hidup masyarakat, adanya gangguan ekosistem khususnya hilangnya habitat alami makhluk hidup khas pertanian dan berkurangnya area resapan, serta kenaikan harga komoditas pertanian akibat berkurangnya produksi komoditas pertanian. Dengan adanya dampak tersebut, ketahanan pangan yang menjadi kebutuhan masyarakat luas juga ikut terdampak.
b. Mengembalikan fungsi ruang dengan menertibkan bangunan atau kegiatan yang melanggar fungsi ruang, dan mengembalikan fungsi ruang agar sesuai peruntukannya demi melindungi akses publik.
Satu-satunya perangkat
pengendalian pemanfaatan ruang yang dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi
ruang adalah pengenaan sanksi khususnya sanksi administratif. Syarat dalam
pengenaan sanksi harus mencakup dua hal, yaitu terhentinya tindakan pelanggaran
dan dipulihkannya kondisi yang terdampak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2023 beserta peraturan turunannya, terdapat 9 (sembilan) bentuk sanksi
administratif atas pelanggaran perubahan fungsi ruang. Dari sembilan sanksi
tersebut, dua di antaranya dapat mengembalikan fungsi ruang, setidaknya
mendekati kondisi semula, yaitu pembongkaran bangunan dan pemulihan fungsi
ruang.
Mengembalikan fungsi ruang dengan melakukan pembongkaran bangunan yang melanggar fungsi ruang, dan pemulihan fungsi ruang sesuai peruntukannya bertujuan agar fungsi ruang yang sebelumnya hanya dinikmati oleh individu atau golongan tertentu selaku pelanggar pemanfaatan ruang dapat kembali ke performa ruang yang diharapkan mempunyai nilai manfaat untuk kepentingan masyarakat luas termasuk melindungi kepentingan akses publik terhadap suatu ruang. Dengan adanya nilai manfaat dan akses yang dapat diperoleh masyarakat luas sesuai tujuan peruntukan ruangnya, maka terciptalah keadilan ruang. Menurut Rocco de Campos Pereira (2014) dalam Smith dkk. (2023), menyatakan keadilan spasial merujuk pada akses umum terhadap barang publik, layanan dasar, barang budaya, kesempatan ekonomi, dan lingkungan yang sehat.
c. Menjamin ruang publik seperti taman, pantai, sungai, dan kawasan konservasi tetap bisa diakses oleh masyarakat umum.
Penertiban pemanfaatan ruang merupakan instrumen penting untuk mewujudkan keadilan spasial, dengan menekankan penataan ruang yang adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini, penutupan akses publik dianggap sebagai pelanggaran pemanfaatan ruang yang dapat dikenakan sanksi, karena menghalangi masyarakat untuk menikmati ruang publik seperti taman, pantai, sungai, dan kawasan konservasi secara adil. Ruang publik seperti taman kota dan sungai harus tetap menjadi milik bersama yang dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat. Penertiban pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh pemerintah terkait hal ini merupakan wujud komitmen untuk menjaga keberlanjutan ruang publik sebagai fasilitas sosial yang tidak boleh diprivatisasi.
d. Mengurangi ketimpangan akses, dengan mencegah penguasaan ruang secara berlebih oleh kelompok tertentu saja sehingga masyarakat umum tidak bisa mengakses lokasi milik umum tersebut.
Penertiban pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya,
misalnya penguasaan ruang yang berlebihan oleh pihak tertentu, menjadi langkah
yang penting dalam memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat menikmati
manfaat ruang tersebut. Dalam Pasal 61 huruf a UU
6/2023 dan peraturan turunannya, dijelaskan bahwa setiap perubahan fungsi ruang
yang merugikan kepentingan umum harus ditanggulangi melalui sanksi
administratif, guna mengembalikan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Penutupan akses masyarakat ke ruang publik seperti pantai yang
dibangun oleh perusahaan atau individu tertentu menjadi isu yang perlu segera
ditangani. Dalam hal ini, penertiban pemanfaatan ruang bertujuan untuk membuka
kembali akses publik dan memastikan bahwa ruang tersebut tetap dapat diakses
oleh masyarakat luas, tanpa ada pembatasan yang mengarah pada penguasaan oleh
kelompok tertentu saja. Hal ini untuk mempertegas pentingnya pemanfaatan ruang
yang berkeadilan, termasuk dalam hal akses terhadap fasilitas publik.
Penertiban pemanfaatan ruang tidak hanya sekadar mengatur alih fungsi ruang,
tetapi juga melibatkan upaya untuk memulihkan dan memastikan akses yang setara
bagi seluruh masyarakat terhadap ruang-ruang yang seharusnya dapat dinikmati
oleh publik.
4.
CONTOH PENERTIBAN
PEMANFAATAN RUANG SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN SPASIAL
a.
Pada
kawasan pesisir/pantai di kawasan pariwisata yang ramai dan berkembang, kerap
terjadi penutupan akses masyarakat ke pantai karena dibangun resort atau hotel
yang mengharuskan masyarakat membayar untuk dapat menikmati kawasan tersebut,
sehingga menimbulkan kesenjangan dalam menikmati fasilitas publik tersebut. Hal
ini terjadi di Pantai Binongko Labuan Bajo dan Pulau Padar yang masuk dalam
wilayah Taman Nasional Komodo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (travel.kompas.com,
7 April 2025) dimana warga maupun wisatawan mulai mengeluhkan tak lagi bebas
mengunjungi kedua tempat tersebut. Seorang warga yang
hendak menikmati Pantai Binongko, pesisir utara Labuan Bajo kemudian dilarang
dan diusir petugas keamanan salah satu hotel yang dibangun di kawasan tersebut.
Penutupan akses publik semacam ini menyebabkan hilangnya akses masyarakat umum
ke pantai untuk menikmati pantai dan juga mengancam para nelayan kehilangan
haknya untuk melaut dan mencari ikan atau kerang.
Pada daerah lain yaitu di
Bali, Gubernur Bali (Detik.com, 12 Maret 2025) melarang hotel, vila,
penginapan, dan restoran yang berada di pinggir laut menutup akses ke pantai,
kecuali untuk keperluan upacara adat. Menurutnya, sudah ada peraturan daerah
yang mengatur akomodasi wisata di pinggir laut atau pantai. Apabila melanggar,
akan ditindak sesuai aturan yang berlaku. Kebijakan penertiban ini bertujuan
untuk mewujudkan pariwisata berbasis budaya yang berkualitas dan bermartabat.
Hal ini membuktikan bahwa penertiban pemanfaatan ruang dibutuhkan untuk
memulihkan akses publik ke pantai dan menjamin kesetaraan ruang publik.
b.
Penertiban
bangunan dan kegiatan yang mengalihfungsikan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (LP2B) menjadi bangunan dan kegiatan komersial, seperti yang
terjadi di Kabupaten Purworejo (djpptr. atrbpn.go.id, 17 Juli 2025) dimana
Pemerintah Kabupaten Purworejo dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten
Purworejo didampingi oleh Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, Kementerian
ATR/BPN melaksanakan penertiban pemanfaatan ruang berupa pembongkaran terhadap
salah satu bangunan yang berada pada Kawasan Tanaman Pangan di Desa Kesugihan,
Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 15
Juli 2025. Lokasi bangunan tersebut telah ditetapkan
sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) dan tidak diperkenankan
untuk dilakukan alih fungsi menurut Perda RTRWnya. Penertiban ini bertujuan
untuk menjaga ketahanan pangan yang menjadi program Asta Cita Presiden Republik
Indonesia dan mencegah ketimpangan yang akan terjadi kepada para petani di
sekitar kegiatan komersial. Sementara itu, untuk kegiatan perdagangan dan
komersial, diarahkan ke lahan yang sesuai peruntukan dalam RTRW.
c.
Penertiban kegiatan
pertambangan ilegal/liar di kawasan konservasi. Salah satu implementasi
kegiatan penertiban pemanfaatan ruang terhadap kegiatan pertambangan ilegal di
kawasan konservasi adalah kegiatan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang
berupa tambang mineral bukan logam dan batuan di kawasan resapan air di Kota
Tual pada tahun 2024. Kawasan resapan air ini memiliki fungsi yang penting
khususnya terkait menjaga kuantitas air tanah yang merupakan salah satu sumber
air bersih bagi penduduk Kota Tual yang merupakan kota dengan bentuk kepulauan.
Sanksi administratif yang diberikan terhadap pemilik tambang adalah pemulihan
fungsi ruang berupa perbaikan topografi bekas galian tambang dan revegetasi
untuk menjaga stabilitas tanah dan kemampuan tanah dalam meresapkan air hujan
ke dalam tanah sehingga membantu sumber air terjaga kuantitas dan kualitasnya.
Penertiban ini bertujuan untuk melindungi ekosistem lingkungan yang bermanfaat
untuk masyarakat, dan tidak hanya menguntungkan segelintir pemilik modal dan
pelaku pertambangan.
d.
Penertiban bangunan liar dan
ilegal di sempadan sungai. Implementasi penertiban terhadap bangunan di
sempadan sungai salah satunya adalah pada kegiatan penertiban pelanggaran
pemanfaatan ruang di Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor pada tahun 2022 yang merupakan
tindak lanjut dari kegiatan Fasilitasi Penertiban Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ciliwung tahun 2021. Pada tahun 2021 disepakati kegiatan aksi penertiban pada
13 (tiga belas) titik pelanggaran, dimana 3 (tiga) titik telah dilaksanakan
kegiatan penertiban berupa pembongkaran dan pengembalian fungsi ruang pada
akhir tahun 2021. Pada tahun 2022 dilaksanakan lanjutan kegiatan aksi
penertiban dan pemulihan fungsi ruang terhadap 10 (sepuluh) titik pelanggaran.
Kegiatan aksi penertiban ini merupakan kolaborasi antara Kementerian ATR/BPN
dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam melakukan fasilitasi
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor yang didukung oleh Komando Distrik
Militer 0621/ Kabupaten Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penertiban daerah
DAS ini bertujuan untuk menegakkan keadilan ruang demi kebermanfaatan
masyarakat yang lebih luas, dimana pengaruh perubahan fungsi ruang pada hulu
DAS Ciliwung dapat mempengaruhi kondisi lingkungan daerah hilir Ciliwung.
Ketika daerah hulu DAS Ciliwung diokupasi dengan masif oleh bangunan maka
daerah resapan air akan berkurang sehingga debit Sungai Ciliwung akan meningkat
yang dampaknya dapat menyebabkan banjir di daerah hilir, khususnya DKI Jakarta,
Bekasi dan Tangerang.
5.
KESIMPULAN
Rencana Tata Ruang (RTR) tidak akan dapat menjadi
instrumen untuk mewujudkan keadilan spasial walaupun sudah mengakomodir
prinsip-prinsip keadilan spasial, apabila tidak disertai dengan kegiatan
pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang di lapangan, karena penertiban
pemanfaatan ruang merupakan instrumen nyata yang mengarahkan pemanfaatan ruang
sesuai dengan ketentuan dalam RTR.
Rencana Tata Ruang, meskipun memiliki peran penting
dalam penyusunan kebijakan ruang yang terstruktur, tidak dapat sepenuhnya
mewujudkan keadilan spasial tanpa adanya implementasi yang efektif di lapangan.
Penertiban pemanfaatan ruang merupakan instrumen yang sangat nyata dan vital
untuk memastikan bahwa Rencana Tata Ruang dapat diterapkan dengan adil dan
sesuai dengan tujuan awalnya. Tanpa penertiban yang efektif dan tegas, potensi
penyalahgunaan ruang, seperti pengalihfungsian lahan atau penutupan akses publik,
akan terus terjadi, yang pada akhirnya menghambat tercapainya pemerataan akses
dan keadilan spasial bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, penertiban
pemanfaatan ruang tidak hanya menjadi pelengkap, melainkan langkah kunci untuk
mendukung efektivitas Rencana Tata Ruang dalam menciptakan keadilan spasial
demi manfaat publik yang lebih merata.
Daftar Pustaka
• Estabrik S. Abdulhamza, dkk,. 2025. Trends in Spatial
Justice in Urban Space Planning: A Study of Selected Urban Spaces in 1st Kinda
Neighborhood in the City of Kufa–Iraq. Faculty of Physical Planning, University
of Kufa, Al-Najaf 54001, Iraq.
• Russell M. Smith, dkk. 2023. A Planner’s quest for
identifying spatial (in)justice in local communities: A case study of urban
census tracts in North Carolina, USA. Winston-Salem State University,
WinstonSalem, NC 27110, USA.
• Sutaryono. (2016, November 12). Lahan Pangan
Repository.Stpn.Ac.Id. http://repository.stpn. ac.id/3604/
• https://travel.kompas.com/read/2025/04/07/150805427/akses-warga-ke-pantai-labuan-bajo-danpulau-padar-tn-komodo-dihalangi-akibat#:~:text=Travel-,Akses%20Warga%20ke%20Pantai%20
Labuan%20Bajo%20dan%20Pulau%20Padar%20TN,akibat%20Pembangunan%20Vila%20dan%20 Hotel&text=KOMPAS.com%20%2D%20Warga%20maupun%20wisatawan,kawasan%20itu%20
akan%20dibangun%20hotel.
•
https://www.detik.com/bali/bisnis/d-7819793/koster-larang-hotel-dan-vila-kuasaipantai#:~:text=Gubernur%20Bali%20Wayan%20Koster%20melarang,tegas%20tahun%20
ini%2C%22%20ujarnya.
• Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UndangUndang.
• Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang.
• Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengendalian
Pemanfaatan Ruang dan Pengawasan Penataan Ruang.
Sumber : Penulis Aristiyono
Devri Nuryanto, S.T., M.Sc, Alim Fahmi Romadhon, ST, MT., dan Sukma Aditya, ST.
Dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II (Mei - Agustus 2025)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar