Kamis, 25 September 2025

Rencana Tata Ruang Wilayah: Menciptakan Ruang yang Berkeadilan untuk Semua

Spatial justice pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk membentuk ‘ruang’ yang dapat dinikmati oleh semua orang tanpa terkecuali, tanpa adanya diskriminasi spasial yang menyebabkan pengaruh atau kekuasaan seseorang dapat menentukan dirinya mampu menikmati ‘ruang’ yang lebih baik daripada yang lain. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU No.6 Tahun 2023) yang mendorong terwujudnya ruang yang aman, nyaman dan berkelanjutan bagi semua.


Pendahuluan

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana sebuah wilayah ditata agar nyaman, aman, dan berkelanjutan bagi seluruh warganya? Jawabannya terletak pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW adalah dokumen fundamental yang disusun pemerintah sebagai peta jalan pembangunan, untuk menata ketertiban, memastikan pemanfaatan lahan sesuai fungsi, serta menjaga kelestarian lingkungan.

RTRW memetakan berbagai aspek krusial, mulai dari penggunaan lahan, pola permukiman, hingga kawasan konservasi dan infrastruktur. Seluruh elemen ini dirangkai dalam dua konsep utama, yakni pola ruang (distribusi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya) dan struktur ruang (susunan pusat permukiman dan jaringan penunjangnya). Keduanya dirancang untuk menciptakan ruang yang efektif dan efisien, sekaligus mencegah konflik kepentingan antarsektor.

RTRW bukan sekadar dokumen teknis, melainkan juga landasan hukum sekaligus kesepakatan bersama. Kunci keberhasilannya terletak pada proses penyusunan yang partisipatif dan inklusif, dimana suara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya mendapat ruang. Prinsip keadilan (spatial justice) inilah yang menjadikan RTRW sebagai instrumen penyelesaian konflik secara damai.

Pentingnya RTRW juga ditegaskan dalam UU No. 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Tanpa perencanaan, sebuah kota berisiko menjadi arena konflik. Perspektif ini diperdalam oleh filsuf Henri Lefebvre yang melihat wilayah perkotaan sebagai ruang pertarungan antara “the popolo grasso” (mereka yang berkuasa) dan “the minuto popolo” (mereka yang suaranya tak terdengar). Dalam pandangannya, mereka yang memiliki kuasa cenderung mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengatur bagaimana kota dibentuk dan dikelola. Oleh karena itu, RTRW hadir sebagai amanat undangundang untuk memastikan pembangunan berjalan terencana dan adil bagi semua.

Visi besar ini berlandaskan pada pemahaman mendasar sesuai Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa ruang adalah wadah kehidupan kita bersama. Mewujudkan "ruang" yang adil dan berkelanjutan membutuhkan perwujudan pola dan struktur ruang yang terencana, yang mampu menghubungkan setiap sudut wilayah secara efektif demi masa depan yang lebih baik.

Struktur Ruang yang Adil dan Berkelanjutan

Sebuah kawasan yang hidup dan berfungsi baik ditopang oleh sistem mobilitas yang dirancang secara holistik, dimana setiap elemen saling mendukung untuk menciptakan pergerakan yang efisien dan manusiawi. Ini melampaui sekadar pembangunan jalan, tetapi merangkai sebuah ekosistem yang utuh bagi semua penggunanya. Rencana struktur ruang adalah representasi fisik dari visi pengembangan suatu kawasan, yang diwujudkan dalam keterkaitan antarpusat kegiatan. Untuk membentuk "ruang" yang adil dan berkelanjutan, dibutuhkan struktur ruang yang mampu mengatur konektivitas secara efektif dan efisien.

Beberapa unsur penting yang menjadi landasan kebijakan dalam penyusunan struktur ruang meliputi sistem penghubung, tata guna lahan, intensitas bangunan, ruang terbuka, tata bangunan, sarana prasarana lingkungan, serta pertimbangan gender dalam pemanfaatan ruang.

Pembahasan

1.     Sistem Penghubung untuk Menghubungkan Antarruang

Sistem penghubung mengatur sirkulasi dan aksesibilitas barang serta manusia dalam suatu kawasan, yang mencakup jaringan jalan, jalur pedestrian, jalur sepeda, hingga transportasi umum. Prinsip penting yang perlu diperhatikan:

Konsistensi dengan Rencana Makro: Desain harus selaras dengan rencana tata ruang yang lebih tinggi (skala kota/provinsi).

Konektivitas yang Efisien: Koneksi antarkawasan dihubungkan secara maksimal ke jalan utama, bukan membebani jalan lokal.

Manajemen Lalu Lintas Cerdas: Penempatan jalan arteri di sisi luar (periferi) kawasan yang berfungsi untuk memisahkan lalu lintas regional dan lokal.

Desain Jalan yang Inklusif: Perancangan jalan wajib menyeimbangkan kebutuhan kendaraan sekaligus memprioritaskan pejalan kaki.

Prinsip-prinsip ini diwujudkan pertama kali dalam penataan jaringan jalan, yang harus dilihat sebagai bagian integral dari sistem aksesibilitas, ruang bagi pejalan kaki, dan ruang terbuka hijau. Hierarki jalan yang jelas mulai dari arteri, kolektor, hingga jalan lokal akan membentuk struktur ruang dan memengaruhi intensitas pembangunan. Peran jalan juga harus dipertimbangkan secara cermat, apakah sebagai penghubung atau pembatas. Desainnya pun harus cerdas, menghindari lalu lintas pintas (through traffic) di jalan lingkungan dan selalu mempertimbangkan aspek visual seperti vista untuk memperkaya pengalaman.

Jaringan jalan yang efisien harus diimbangi dengan prioritas utama pada manusianya sehingga pedestrian menjadi hal yang sangat penting. Perencanaannya dimulai dengan mempertimbangkan jarak jangkauan yang nyaman (sekitar 300 meter) saat menempatkan fasilitas seperti halte atau toko. Jalur pedestrian harus menjadi sebuah jaringan yang aman, berkelanjutan, dan nyaman, dirancang dalam skala manusiawi serta terlindung dari lalu lintas kendaraan.

Prioritas bagi pejalan kaki ini juga harus tercermin dalam penataan fasilitas parkir. Parkir harus dirancang untuk memberikan kemudahan akses, bukan mendominasi ruang. Penempatannya tidak boleh mengganggu aktivitas di sekitarnya dan harus terintegrasi secara visual dengan jalan, pedestrian, dan vegetasi, sambil tetap memenuhi standar keamanan dan kenyamanan.

Sebagai tulang punggung yang mengikat semuanya, konsep transportasi publik menjadi penentu. Penataannya harus terpadu dengan rencana pengembangan kawasan secara keseluruhan dan terhubung erat dengan jalur pedestrian serta pusat-pusat aktivitas. Seperti halnya jalan, transportasi publik perlu memiliki hierarki layanan yang jelas, dengan penempatan halte yang strategis di simpul kegiatan agar mudah dijangkau namun tidak mengganggu kelancaran lalu lintas umum.

2.     Harmoni Tata Guna Lahan: Dari Segregasi ke Fungsi Terpadu

Tata Guna Lahan (peruntukan) adalah alokasi pemanfaatan tanah yang diatur dalam rencana tata ruang. Pada awalnya, konsep ini lahir ketika Revolusi Industri melanda Inggris dari kebutuhan untuk memisahkan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif, misalnya menjauhkan permukiman dari polusi industri. Namun, pemisahan fungsi yang terlalu ekstrem justru memunculkan masalah baru, seperti meningkatnya kebutuhan transportasi dan terbentuknya “kawasan mati” pada malam hari. Sebagai solusi, muncul konsep kawasan fungsi campuran (mixed-use) yang menggabungkan berbagai peruntukan. Prinsip ini bertujuan memaksimalkan pemanfaatan lahan, mengurangi beban transportasi, dan meningkatkan efisiensi utilitas.

Dalam skala yang lebih kecil, penerapannya diwujudkan melalui keragaman yang berimbang. Misalnya, sebuah kawasan hunian idealnya dilengkapi dengan fasilitas komersial skala lingkungan (toko, klinik) dan fasilitas sosial (sekolah, tempat ibadah) dalam porsi proporsional. Dengan menempatkan berbagai tipe hunian, tempat kerja, dan fasilitas dalam jarak yang berdekatan, akan terbentuk komunitas yang lebih beragam, inklusif, dan terintegrasi secara sosial. Tingkat kerincian peruntukan ini diatur secara berjenjang, mulai dari skala umum dalam RTRW hingga detail di RTBL yang bahkan bisa mengatur fungsi per lantai bangunan.

Lebih jauh, tata guna lahan tidak hanya ditentukan oleh kegiatan manusia, melainkan juga harus menghormati karakter geografis. Sesuai amanat UU Penataan Ruang, kawasan dibagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Bahkan di dalam kawasan budi daya pun terdapat zona yang harus dibatasi atau dilindungi, seperti resapan air atau daerah rawan banjir yang sebaiknya dialihfungsikan menjadi ruang terbuka hijau demi menjaga keseimbangan ekologis.



3.     Intensitas/Kepadatan Bangunan

Intensitas atau kepadatan bangunan diatur melalui ketentuan teknis seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan Koefisien Daerah Hijau (KDH). Selama ini ada anggapan bahwa kepadatan tinggi selalu identik dengan kualitas lingkungan yang buruk. Pandangan ini perlu diluruskan, karena pada dasarnya tingkat kepadatan ideal harus disesuaikan dengan daya dukung dan karakter kawasan. Misalnya, area konservasi air atau wilayah dengan infrastruktur terbatas, seperti pasokan air dan listrik yang secara alami harus memiliki kepadatan rendah demi menjaga keseimbangan ekologis.

Sebaliknya, kepadatan tinggi yang direncanakan dengan baik justru membawa banyak manfaat. Dari sisi sosial dan ekonomi, kepadatan mendorong interaksi antarwarga, memudahkan akses terhadap layanan, serta menekan harga tanah melalui pembangunan vertikal yang membuat infrastruktur lebih efisien. Dari sisi transportasi dan lingkungan, kepadatan yang terpusat dapat mengurangi kebutuhan perjalanan, meningkatkan penggunaan transportasi umum, menekan polusi, dan pada akhirnya mencegah urban sprawl yang berpotensi menggerus kawasan lindung maupun lahan konservasi.



4.     Ruang Terbuka: Jantung Sosial dan Paru-Paru Ekologis Kawasan

Ruang terbuka seperti jalan, taman, dan lapangan berfungsi sebagai panggung kehidupan komunal suatu kawasan. Karena bersifat bebas diakses oleh semua lapisan masyarakat, ruang ini menjadi wadah ideal bagi beragam aktivitas, mulai dari rekreasi sehari-hari hingga kegiatan besar seperti festival, perayaan, atau pasar temporer. Ruang publik yang nyaman akan mendorong interaksi sosial, memperkuat rasa kebersamaan, sekaligus memicu partisipasi warga dalam menjaga keamanan lingkungannya.

Sebuah ruang terbuka dinilai berhasil apabila dirancang dengan baik. Kriterianya mencakup aksesibilitas yang mudah, keamanan, daya tarik visual, serta fleksibilitas untuk berbagai kegiatan (multifungsi). Desainnya pun perlu diselaraskan dengan konteks alam sekitar dengan mempertimbangkan lanskap, topografi, iklim mikro, dan vegetasi setempat agar potensi kawasan dapat dimanfaatkan secara optimal.

Lebih dari sekadar fungsi sosial, ruang terbuka juga memiliki peran ekologis yang vital. Kesadaran akan pentingnya ekologi menjadi kunci, sebab pembangunan harus mampu menekan dampak negatif terhadap lingkungan. Di tengah tekanan pembangunan yang kian meningkat seiring pertumbuhan penduduk (dari sekitar 290 juta jiwa saat ini hingga diperkirakan 400 juta dalam dua dekade mendatang), keberadaan ruang terbuka menjadi wujud nyata komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Ia adalah investasi untuk menjaga kelangsungan hidup, kualitas lingkungan, dan kesejahteraan generasi mendatang.



5.     Tata Bangunan untuk Kualitas dan Karakter Kawasan

Pengaturan blok kawasan merupakan fondasi dari tata bangunan, karena kualitas suatu kawasan sangat ditentukan oleh kualitas setiap bangunan dan blok di dalamnya. Tanpa pengendalian, kawasan dapat mengalami kekacauan visual sekaligus gagal memenuhi standar kesehatan maupun keselamatan. Untuk itu, diterapkan seperangkat aturan teknis yang jelas, seperti Garis Sempadan Bangunan (GSB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dan Ketinggian Bangunan. Selain itu, pembagian lahan menjadi blok dan kapling (sub-division) juga berperan penting dalam mengarahkan pengembangan, menjaga kualitas lingkungan, serta menjamin keamanan publik.

Lebih jauh, tata bangunan yang baik tidak hanya mengatur teknis dasar, tetapi juga memperhatikan kualitas visual kawasan agar ruang kota memiliki identitas yang jelas dan mudah dikenali. Hal ini dicapai melalui tiga elemen utama:

Landmark, sebagai penanda orientasi sekaligus pembentuk skyline.

Vista, yaitu pemandangan terarah sepanjang jalur tertentu.

Focal Point, yang menciptakan ritme visual dan menandai titik penting seperti gerbang, batas, atau pusat Kawasan.

Terakhir, tata bangunan juga mengatur penempatan Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial (Fasum/ Fasos) secara strategis. Bangunan publik ini bukan sekadar pelengkap, tetapi berfungsi sebagai simbol komunitas sekaligus penyedia layanan dasar. Prinsip utamanya, fasilitas harus berada dalam jangkauan pejalan kaki yang nyaman, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh semua kelompok usia.

6.     Sarana dan Prasarana Lingkungan: Penopang Kehidupan Sehari-hari

Sarana dan prasarana lingkungan mencakup infrastruktur vital yang menjadi tulang punggung kawasan, seperti jaringan air bersih, drainase, listrik, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat pula sarana pendukung berupa perabot jalan (street furniture) seperti lampu penerangan, boks sampah, hingga tempat duduk di ruang publik. Kehadiran semua elemen ini bertujuan menciptakan lingkungan yang layak huni dari segi keamanan, keselamatan, dan kesehatan, sehingga kualitas hidup serta kenyamanan warga dapat terus meningkat.

Dalam perencanaan dan pengelolaannya, terdapat beberapa prinsip kunci. Pertama, perencanaan harus bersifat terpadu, mempertimbangkan kapasitas jaringan skala kawasan yang lebih luas, serta selaras dengan tata jalan, ruang terbuka, dan bangunan di sekitarnya. Kedua, pemanfaatan ruang harus efisien: elemen di atas tanah (seperti lampu jalan) dapat sekaligus membentuk karakter kawasan, sementara ruang bawah tanah dapat dimanfaatkan untuk saluran utilitas. Ketiga, sistem yang dirancang sebaiknya memungkinkan pengelolaan mandiri oleh masyarakat dengan kemudahan perawatan sebagai syarat utama, demi menjamin keberlanjutan jangka panjang.

7.     Inklusivitas dan Kesetaraan Gender: Merancang Ruang untuk Semua

nklusivitas dalam pemanfaatan ruang merupakan upaya mendasar untuk memastikan setiap kelompok masyarakat mendapatkan porsi dan peluang yang setara dalam menikmati ruang kota (tanpa memandang gender, usia, kemampuan fisik, maupun kondisi kerentanan lainnya). Prinsip ini bukan hanya isu keadilan sosial, tetapi juga menjadi tantangan bersama bagi pemerintah kota, masyarakat sipil, dan para profesional untuk menciptakan ruang perkotaan yang benar-benar dapat diakses oleh semua.

Secara khusus, penerapan perspektif kesetaraan gender dalam perencanaan dan desain ruang menjadi inisiatif kunci untuk mendorong perubahan, sekaligus mendukung tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) ke-5. Untuk mewujudkannya, terdapat sejumlah langkah strategis yang perlu dilakukan:

1. Libatkan Perempuan dan Anak Perempuan secara aktif dalam setiap tahap perencanaan dan desain ruang perkotaan.

2. Dengarkan Aspirasi Mereka untuk memahami apa yang dibutuhkan agar merasa aman dan nyaman di ruang publik.

3. Gunakan Data Terpilah yang mencakup tidak hanya gender, tetapi juga usia, etnis, disabilitas, dan kelas sosial untuk membuat kebijakan yang tepat sasaran.

4. Integrasikan Ruang Ramah Perempuan, baik dalam desain ruang publik secara umum maupun dengan menyediakan ruang khusus jika diperlukan.

5. Adaptasi Metode Partisipasi agar lebih ramah dan mampu menjangkau suara dari seluruh lapisan masyarakat secara adil.

Pada akhirnya, tata ruang yang baik bukan sekadar soal mengatur kepadatan bangunan, menghadirkan ruang terbuka hijau, atau melengkapi kawasan dengan sarana dan prasarana, tetapi juga bagaimana seluruh elemen tersebut berpadu membentuk lingkungan yang sehat, aman, nyaman, dan inklusif. Perencanaan yang matang akan memastikan efisiensi pemanfaatan lahan dan infrastruktur, menjaga keseimbangan ekologi, sekaligus memberi ruang bagi interaksi sosial yang memperkuat kohesi masyarakat. Lebih dari itu, prinsip inklusivitas menegaskan bahwa ruang harus adil dan ramah bagi semua, sehingga tata ruang benar-benar menjadi instrumen pembangunan berkelanjutan yang menghadirkan kualitas hidup lebih baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

 

 

Daftar Pustaka

1. Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.

2. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.

3. Sugiyono, PB,”Memahami Konsep Ruang Menurut Henri Lefebvre”, Jurnal Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2022.

4. URBACT, “Gender sensitive public space? Placemaking and spatial justice through the perspective of gender”, Diedit tanggal 20 Agustus 2024.

 

 

 

 

 

 

Sumber : Penulis Ir. Toni Rusmarsidik, MUM, dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II (Mei - Agustus 2025)

Rabu, 24 September 2025

Penertiban Pemanfaatan Ruang untuk Mewujudkan Keadilan Spasial di Indonesia

Konsep spatial justice atau keadilan spasial telah banyak dibahas oleh para pakar dan akademisi yang mencoba menggabungkan teori keadilan sosial dengan kajian ruang/spasial, sehingga berkembang menjadi teori-teori keadilan spasial. Artikel ini akan membahas konsep keadilan spasial sesuai dengan sistem penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia, dan apa peran dari pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya penertiban pemanfaatan ruang sebagai instrumen kunci dari perwujudan keadilan spasial di Indonesia, disertai contoh implementasinya.

1.     KONSEP SPATIAL JUSTICE (KEADILAN SPASIAL)

Pemahaman mengenai keadilan ruang atau keadilan spasial sangatlah beragam. Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli, seperti Rocco de Campos Pereira (2014), Soja (2013), dan Estabrik S. Abdulhamza dkk (2025), keadilan spasial tidak hanya sekedar pembagian ruang secara fisik, tetapi juga mencakup distribusi yang adil terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti akses terhadap barang publik, layanan dasar, peluang ekonomi, dan lingkungan yang sehat. Dari perspektif akses terhadap barang publik, layanan dasar, dan kesempatan ekonomi, keadilan spasial mengharuskan bahwa semua warga memiliki akses yang setara terhadap fasilitas dan sumber daya yang ada. Ketimpangan dalam akses ini dapat menyebabkan perbedaan signifikan dalam kualitas hidup antarkelompok sosial. Penataan ruang yang tidak adil seringkali menciptakan ketimpangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pekerjaan, yang pada gilirannya memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Dari aspek keadilan spasial, hal ini berkaitan dengan distribusi manfaat dan beban secara merata dalam masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan. Oleh karena itu, penataan ruang yang mengutamakan keadilan spasial tidak hanya harus mewujudkan pemerataan manfaat pembangunan bagi seluruh lapisan masyarakat, tetapi juga memastikan bahwa beban dari dampak pembangunan, seperti polusi udara, kemacetan lalu lintas, maupun degradasi lingkungan, dibagi secara adil, sehingga tidak menumpuk pada kelompok rentan, khususnya mereka yang tinggal di wilayah marginal atau kawasan terabaikan.

Penataan ruang yang mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan spasial akan menghasilkan kota dan wilayah yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan sejahtera. Hal ini tidak hanya mencakup pengaturan distribusi fisik ruang, tetapi juga pemerataan akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan yang ada di dalam ruang tersebut. Penataan ruang yang adil akan menciptakan ruang publik yang dapat diakses oleh semua kalangan, memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang terpinggirkan, serta mengurangi ketimpangan antarwilayah yang sering kali menciptakan ketegangan sosial dan ekonomi. Namun, dalam implementasinya, pemanfaatan ruang tidak jarang menyimpang dari rencana yang telah ditetapkan. Ketidaksesuaian tersebut lambat laun menimbulkan simpangan dan ketidakadilan ruang. Oleh karena itu, diperlukan pengendalian melalui penertiban pemanfaatan ruang untuk mengurangi pelanggaran yang terjadi sekaligus mencegah terulangnya pelanggaran di masa mendatang.

2.     LANDASAN HUKUM PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Penertiban pemanfaatan ruang merupakan salah satu bagian dari Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam siklus penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia. Penyelenggaraan penataan ruang terdiri atas perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, pengawasan penataan ruang, pembinaan penataan ruang, dan kelembagaan penataan ruang. Regulasi terkait penertiban pemanfaatan ruang di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu (a) UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UndangUndang (UU 6/2023); (b) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP 21/2021); dan (c) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Pengawasan Penataan Ruang. Pada peraturan-peraturan tersebut, telah diatur secara jelas bahwa setiap orang yang tidak menaati Rencana Tata Ruang (RTR) yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dan tidak mematuhi ketentuan pemanfaatan ruang dalam RTR, akan dikenakan sanksi administratif. Pelanggaran ini termasuk pemanfaatan ruang yang tidak memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan yang tidak mematuhi ketentuan dalam KKPR. Pengenaan sanksi administratif juga dikenakan kepada setiap orang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan sebagai milik umum, baik menutup akses secara sementara maupun permanen.

Berdasarkan UU 26/2007 sebagaimana telah diubah dalam UU 6/2023 dan peraturan turunannya, sanksi administratif terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang dapat berupa: (1) peringatan tertulis, (2) denda administrasi, (3) penghentian sementara kegiatan, (4) penghentian sementara pelayanan umum, (5) penutupan lokasi, (6) pencabutan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, (7) pembatalan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, (8) pembongkaran bangunan, dan (9) pemulihan fungsi ruang. Sanksi administratif dapat disertai dengan upaya paksa oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah. Saat ini, prinsip hukum yang digunakan dalam penegakan hukum pelanggaran penataan ruang adalah Prinsip Ultimum Remedium, yaitu mengedepankan sanksi administratif sebelum pengenaan sanksi pidana sebagai upaya terakhir.



3.     PERAN PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN SPASIAL DI INDONESIA

UUPR, UUCK, dan PP 21/2021 menempatkan penertiban pemanfaatan ruang, yaitu pengenaan sanksi administratif, untuk memastikan kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan sesuai RTR dan KKPR yang telah diterbitkan. Ini adalah kerangka formal bahwa penegakan hukum digunakan untuk menjaga keteraturan dan keadilan ruang. Konsep dan prinsip keadilan spasial ini harus tertuang dalam RTR yang memiliki konsep sustainability, keadilan sosial, pemerataan pembangunan, dan livability yang tercermin dari alokasi ruang yang seimbang dan tidak berpihak pada kelompok tertentu saja, tetapi untuk seluruh lapisan masyarakat. Namun, konsep RTR yang baik dan berkeadilan, tanpa disertai dengan pengendalian dan penegakan hukum, tidak akan pernah terwujud. Oleh karena itu, pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang, menjadi kunci perwujudan RTR yang berkeadilan sosial dan spasial, serta mampu mewujudkan tujuan akhir penataan ruang yaitu ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Terdapat 4 (empat) peran penting kegiatan penertiban pemanfaatan ruang dalam mewujudkan konsep keadilan spasial yang telah diatur dalam RTR, yaitu:

a.   Menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, hal ini untuk mencegah ketimpangan akibat perubahan fungsi ruang yang bertentangan dengan rencana, misalnya konversi lahan pertanian menjadi kawasan perdagangan dan jasa secara ilegal.

Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang. Hal ini bertujuan untuk mencegah ketimpangan atau ketidakadilan ruang akibat perubahan fungsi ruang. Konsep penetapan rencana tata ruang adalah di antaranya untuk mencapai kondisi yang berkelanjutan baik dari aspek sosial budaya, aspek ekonomi, serta aspek lingkungan hidup. Dalam penentuan itu juga memperhatikan potensi dan kondisi fisik wilayah. Dengan adanya pelanggaran pemanfaatan ruang yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang tentunya akan berdampak terjadinya ketimpangan ruang yang tidak sesuai dengan potensi dan kondisi fisik wilayah eksisting dan tentunya tujuan dari penetapan pola ruang akan bergeser, serta yang lebih parah adalah berubah dari kondisi yang ingin dituju.

Sebagai contoh ketimpangan atau ketidakadilan ruang akibat perubahan fungsi ruang adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi kegiatan nonpertanian menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Menurut Sutaryono (2016), ketercapaian sistem pertanian-pangan Indonesia yang tangguh membutuhkan keterpaduan pengembangan wilayah dan kecukupan ketersediaan lahan sawah melalui kebijakan penataan ruang yang holistik-berkelanjutan. Dengan adanya alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali, maka banyak dampak yang ditimbulkan antara lain perubahan mata pencaharian utama dan pola hidup masyarakat, adanya gangguan ekosistem khususnya hilangnya habitat alami makhluk hidup khas pertanian dan berkurangnya area resapan, serta kenaikan harga komoditas pertanian akibat berkurangnya produksi komoditas pertanian. Dengan adanya dampak tersebut, ketahanan pangan yang menjadi kebutuhan masyarakat luas juga ikut terdampak.

b.    Mengembalikan fungsi ruang dengan menertibkan bangunan atau kegiatan yang melanggar fungsi ruang, dan mengembalikan fungsi ruang agar sesuai peruntukannya demi melindungi akses publik.

Satu-satunya perangkat pengendalian pemanfaatan ruang yang dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi ruang adalah pengenaan sanksi khususnya sanksi administratif. Syarat dalam pengenaan sanksi harus mencakup dua hal, yaitu terhentinya tindakan pelanggaran dan dipulihkannya kondisi yang terdampak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 beserta peraturan turunannya, terdapat 9 (sembilan) bentuk sanksi administratif atas pelanggaran perubahan fungsi ruang. Dari sembilan sanksi tersebut, dua di antaranya dapat mengembalikan fungsi ruang, setidaknya mendekati kondisi semula, yaitu pembongkaran bangunan dan pemulihan fungsi ruang.

Mengembalikan fungsi ruang dengan melakukan pembongkaran bangunan yang melanggar fungsi ruang, dan pemulihan fungsi ruang sesuai peruntukannya bertujuan agar fungsi ruang yang sebelumnya hanya dinikmati oleh individu atau golongan tertentu selaku pelanggar pemanfaatan ruang dapat kembali ke performa ruang yang diharapkan mempunyai nilai manfaat untuk kepentingan masyarakat luas termasuk melindungi kepentingan akses publik terhadap suatu ruang. Dengan adanya nilai manfaat dan akses yang dapat diperoleh masyarakat luas sesuai tujuan peruntukan ruangnya, maka terciptalah keadilan ruang. Menurut Rocco de Campos Pereira (2014) dalam Smith dkk. (2023), menyatakan keadilan spasial merujuk pada akses umum terhadap barang publik, layanan dasar, barang budaya, kesempatan ekonomi, dan lingkungan yang sehat.

c.    Menjamin ruang publik seperti taman, pantai, sungai, dan kawasan konservasi tetap bisa diakses oleh masyarakat umum.

Penertiban pemanfaatan ruang merupakan instrumen penting untuk mewujudkan keadilan spasial, dengan menekankan penataan ruang yang adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks ini, penutupan akses publik dianggap sebagai pelanggaran pemanfaatan ruang yang dapat dikenakan sanksi, karena menghalangi masyarakat untuk menikmati ruang publik seperti taman, pantai, sungai, dan kawasan konservasi secara adil. Ruang publik seperti taman kota dan sungai harus tetap menjadi milik bersama yang dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat. Penertiban pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh pemerintah terkait hal ini merupakan wujud komitmen untuk menjaga keberlanjutan ruang publik sebagai fasilitas sosial yang tidak boleh diprivatisasi.

d.    Mengurangi ketimpangan akses, dengan mencegah penguasaan ruang secara berlebih oleh kelompok tertentu saja sehingga masyarakat umum tidak bisa mengakses lokasi milik umum tersebut.

Penertiban pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya, misalnya penguasaan ruang yang berlebihan oleh pihak tertentu, menjadi langkah yang penting dalam memastikan bahwa semua lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat ruang tersebut. Dalam Pasal 61 huruf a UU 6/2023 dan peraturan turunannya, dijelaskan bahwa setiap perubahan fungsi ruang yang merugikan kepentingan umum harus ditanggulangi melalui sanksi administratif, guna mengembalikan fungsi ruang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penutupan akses masyarakat ke ruang publik seperti pantai yang dibangun oleh perusahaan atau individu tertentu menjadi isu yang perlu segera ditangani. Dalam hal ini, penertiban pemanfaatan ruang bertujuan untuk membuka kembali akses publik dan memastikan bahwa ruang tersebut tetap dapat diakses oleh masyarakat luas, tanpa ada pembatasan yang mengarah pada penguasaan oleh kelompok tertentu saja. Hal ini untuk mempertegas pentingnya pemanfaatan ruang yang berkeadilan, termasuk dalam hal akses terhadap fasilitas publik. Penertiban pemanfaatan ruang tidak hanya sekadar mengatur alih fungsi ruang, tetapi juga melibatkan upaya untuk memulihkan dan memastikan akses yang setara bagi seluruh masyarakat terhadap ruang-ruang yang seharusnya dapat dinikmati oleh publik.

4.     CONTOH PENERTIBAN PEMANFAATAN RUANG SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KEADILAN SPASIAL

a.      Pada kawasan pesisir/pantai di kawasan pariwisata yang ramai dan berkembang, kerap terjadi penutupan akses masyarakat ke pantai karena dibangun resort atau hotel yang mengharuskan masyarakat membayar untuk dapat menikmati kawasan tersebut, sehingga menimbulkan kesenjangan dalam menikmati fasilitas publik tersebut. Hal ini terjadi di Pantai Binongko Labuan Bajo dan Pulau Padar yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Komodo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (travel.kompas.com, 7 April 2025) dimana warga maupun wisatawan mulai mengeluhkan tak lagi bebas mengunjungi kedua tempat tersebut. Seorang warga yang hendak menikmati Pantai Binongko, pesisir utara Labuan Bajo kemudian dilarang dan diusir petugas keamanan salah satu hotel yang dibangun di kawasan tersebut. Penutupan akses publik semacam ini menyebabkan hilangnya akses masyarakat umum ke pantai untuk menikmati pantai dan juga mengancam para nelayan kehilangan haknya untuk melaut dan mencari ikan atau kerang.

Pada daerah lain yaitu di Bali, Gubernur Bali (Detik.com, 12 Maret 2025) melarang hotel, vila, penginapan, dan restoran yang berada di pinggir laut menutup akses ke pantai, kecuali untuk keperluan upacara adat. Menurutnya, sudah ada peraturan daerah yang mengatur akomodasi wisata di pinggir laut atau pantai. Apabila melanggar, akan ditindak sesuai aturan yang berlaku. Kebijakan penertiban ini bertujuan untuk mewujudkan pariwisata berbasis budaya yang berkualitas dan bermartabat. Hal ini membuktikan bahwa penertiban pemanfaatan ruang dibutuhkan untuk memulihkan akses publik ke pantai dan menjamin kesetaraan ruang publik.

b.     Penertiban bangunan dan kegiatan yang mengalihfungsikan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) menjadi bangunan dan kegiatan komersial, seperti yang terjadi di Kabupaten Purworejo (djpptr. atrbpn.go.id, 17 Juli 2025) dimana Pemerintah Kabupaten Purworejo dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Purworejo didampingi oleh Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, Kementerian ATR/BPN melaksanakan penertiban pemanfaatan ruang berupa pembongkaran terhadap salah satu bangunan yang berada pada Kawasan Tanaman Pangan di Desa Kesugihan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 15 Juli 2025. Lokasi bangunan tersebut telah ditetapkan sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) dan tidak diperkenankan untuk dilakukan alih fungsi menurut Perda RTRWnya. Penertiban ini bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan yang menjadi program Asta Cita Presiden Republik Indonesia dan mencegah ketimpangan yang akan terjadi kepada para petani di sekitar kegiatan komersial. Sementara itu, untuk kegiatan perdagangan dan komersial, diarahkan ke lahan yang sesuai peruntukan dalam RTRW.

c.      Penertiban kegiatan pertambangan ilegal/liar di kawasan konservasi. Salah satu implementasi kegiatan penertiban pemanfaatan ruang terhadap kegiatan pertambangan ilegal di kawasan konservasi adalah kegiatan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang berupa tambang mineral bukan logam dan batuan di kawasan resapan air di Kota Tual pada tahun 2024. Kawasan resapan air ini memiliki fungsi yang penting khususnya terkait menjaga kuantitas air tanah yang merupakan salah satu sumber air bersih bagi penduduk Kota Tual yang merupakan kota dengan bentuk kepulauan. Sanksi administratif yang diberikan terhadap pemilik tambang adalah pemulihan fungsi ruang berupa perbaikan topografi bekas galian tambang dan revegetasi untuk menjaga stabilitas tanah dan kemampuan tanah dalam meresapkan air hujan ke dalam tanah sehingga membantu sumber air terjaga kuantitas dan kualitasnya. Penertiban ini bertujuan untuk melindungi ekosistem lingkungan yang bermanfaat untuk masyarakat, dan tidak hanya menguntungkan segelintir pemilik modal dan pelaku pertambangan.



d.     Penertiban bangunan liar dan ilegal di sempadan sungai. Implementasi penertiban terhadap bangunan di sempadan sungai salah satunya adalah pada kegiatan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang di Kawasan Puncak, Kabupaten Bogor pada tahun 2022 yang merupakan tindak lanjut dari kegiatan Fasilitasi Penertiban Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung tahun 2021. Pada tahun 2021 disepakati kegiatan aksi penertiban pada 13 (tiga belas) titik pelanggaran, dimana 3 (tiga) titik telah dilaksanakan kegiatan penertiban berupa pembongkaran dan pengembalian fungsi ruang pada akhir tahun 2021. Pada tahun 2022 dilaksanakan lanjutan kegiatan aksi penertiban dan pemulihan fungsi ruang terhadap 10 (sepuluh) titik pelanggaran. Kegiatan aksi penertiban ini merupakan kolaborasi antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam melakukan fasilitasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor yang didukung oleh Komando Distrik Militer 0621/ Kabupaten Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penertiban daerah DAS ini bertujuan untuk menegakkan keadilan ruang demi kebermanfaatan masyarakat yang lebih luas, dimana pengaruh perubahan fungsi ruang pada hulu DAS Ciliwung dapat mempengaruhi kondisi lingkungan daerah hilir Ciliwung. Ketika daerah hulu DAS Ciliwung diokupasi dengan masif oleh bangunan maka daerah resapan air akan berkurang sehingga debit Sungai Ciliwung akan meningkat yang dampaknya dapat menyebabkan banjir di daerah hilir, khususnya DKI Jakarta, Bekasi dan Tangerang.



5.     KESIMPULAN

Rencana Tata Ruang (RTR) tidak akan dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan spasial walaupun sudah mengakomodir prinsip-prinsip keadilan spasial, apabila tidak disertai dengan kegiatan pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang di lapangan, karena penertiban pemanfaatan ruang merupakan instrumen nyata yang mengarahkan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan dalam RTR.

Rencana Tata Ruang, meskipun memiliki peran penting dalam penyusunan kebijakan ruang yang terstruktur, tidak dapat sepenuhnya mewujudkan keadilan spasial tanpa adanya implementasi yang efektif di lapangan. Penertiban pemanfaatan ruang merupakan instrumen yang sangat nyata dan vital untuk memastikan bahwa Rencana Tata Ruang dapat diterapkan dengan adil dan sesuai dengan tujuan awalnya. Tanpa penertiban yang efektif dan tegas, potensi penyalahgunaan ruang, seperti pengalihfungsian lahan atau penutupan akses publik, akan terus terjadi, yang pada akhirnya menghambat tercapainya pemerataan akses dan keadilan spasial bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, penertiban pemanfaatan ruang tidak hanya menjadi pelengkap, melainkan langkah kunci untuk mendukung efektivitas Rencana Tata Ruang dalam menciptakan keadilan spasial demi manfaat publik yang lebih merata.

 


Daftar Pustaka

• Estabrik S. Abdulhamza, dkk,. 2025. Trends in Spatial Justice in Urban Space Planning: A Study of Selected Urban Spaces in 1st Kinda Neighborhood in the City of Kufa–Iraq. Faculty of Physical Planning, University of Kufa, Al-Najaf 54001, Iraq.

• Russell M. Smith, dkk. 2023. A Planner’s quest for identifying spatial (in)justice in local communities: A case study of urban census tracts in North Carolina, USA. Winston-Salem State University, WinstonSalem, NC 27110, USA.

• Sutaryono. (2016, November 12). Lahan Pangan Repository.Stpn.Ac.Id. http://repository.stpn. ac.id/3604/

• https://travel.kompas.com/read/2025/04/07/150805427/akses-warga-ke-pantai-labuan-bajo-danpulau-padar-tn-komodo-dihalangi-akibat#:~:text=Travel-,Akses%20Warga%20ke%20Pantai%20 Labuan%20Bajo%20dan%20Pulau%20Padar%20TN,akibat%20Pembangunan%20Vila%20dan%20 Hotel&text=KOMPAS.com%20%2D%20Warga%20maupun%20wisatawan,kawasan%20itu%20 akan%20dibangun%20hotel.

• https://www.detik.com/bali/bisnis/d-7819793/koster-larang-hotel-dan-vila-kuasaipantai#:~:text=Gubernur%20Bali%20Wayan%20Koster%20melarang,tegas%20tahun%20 ini%2C%22%20ujarnya.

https://djpptr.atrbpn.go.id/berita/wujudkan-tertib-tata-ruang-kementerian-atrbpn-melakukanpendampingan-kepada-pemerintah-kabupaten-purworejo-dalam-penertiban-bangunan-karaokedi-kawasan-tanaman-pangan

• Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UndangUndang.

• Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

• Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Pengawasan Penataan Ruang.

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : Penulis Aristiyono Devri Nuryanto, S.T., M.Sc, Alim Fahmi Romadhon, ST, MT., dan Sukma Aditya, ST. Dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II (Mei - Agustus 2025)